Oleh: Fuji Eka Permana
Setiap tahun, Republika
menggelar penganugerahan Tokoh Perubahan. Mereka yang terpilih adalah
sosok-sosok yang memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan melakukan
perubahan di tengah masyarakat. Berikut adalah profil mereka.
******
Stigma negatif kerap menjadi
cap bagi warga Suku Kokoda. Suku yang hidup di Kampung Warmon Kokoda, Kabupaten
Sorong, Papua Barat, itu selalu dianggap masalah bagi masyarakat ketika
berpindah tempat. Tidak jarang, lahan orang lain ditempati tanpa mereka sadari.
Rumah panggung mereka
terbuat dari kayu beratapkan terpal dan daun-daun kering. Salah satu kampung
yang mereka tempati masih berupa rawa. Tidak ada jalan yang layak dilintasi,
tidak ada tanah yang layak ditanami, bahkan tidak ada air yang layak
dikonsumsi.
Watak mereka sulit
diperbaiki. Anak-anak Suku Kokoda kerap mengambil hasil tani milik masyarakat
lain. Orang-orang tuanya pun sulit diajak bicara. Tidak adanya sekolah membuat
hak mereka untuk belajar tercerabut. Suku Kokoda pun hidup bak makhluk asing di
tanah sendiri.
Rustamadji yang menjadi
ketua Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sorong
melihat kampung itu pada 2007. Ada sekitar 350 warga asli yang didominasi
Muslim dan selebihnya beragama Kristen. Rustamadji prihatin karena Suku Kokoda
ternyata tinggal di tanah yang tidak mereka miliki. Padahal, mereka adalah suku
asli Papua.
Di sisi lain, masyarakat
pendatang yang menempati lahan transmigrasi memiliki tanah untuk diolah dan
rumah yang layak. Melihat realitas yang memprihatinkan itu, Rustamadji pun
bertekad membantu mereka keluar dari keterbelakangan.
Pada awalnya Rustamadji
kerap dicemooh saat mencoba membantu suku tersebut. Mereka berbisik jika Kokoda
hanya akan menjadi masalah baru bagi warga. “Kalau kita tidak peduli terhadap
mereka, tentu mereka akan lebih parah kondisinya. Jadi, kita harus berbuat
sesuatu untuk Suku Kokoda," kata Rustamadji dengan nada penuh semangat.
Ketimbang suku-suku lain di
Sorong, orang Kokoda masih terbelakang. Mereka tak tertarik ketika diajak
bercerita tentang masa depan anak-anaknya. Mereka hanya bersemangat ketika
ditawari uang dan bantuan. Menurut Rustamadji, watak itu membuat lembaga sosial
enggan membantu.
Karena itu, dia menegaskan,
mereka harus mengubah stigma itu. Dia berkelakar, saat Suku Kokoda dimusuhi,
mereka justru kian menjadi masalah.
Pada awal perjuangannya
Rustamadji bersama STKIP Muhammadiyah Sorong membangun masjid di Kampung Warmon
Kokoda pada 2008. Mayoritas Suku Kokoda sudah memeluk agama Islam, tapi
pemahamannya tentang agama terbilang minim. Seiring berjalannya waktu, masjid
pun menjadi tempat belajar bagi anak-anak Kokoda. Mahasiswa STKIP Muhammadiyah
Sorong dilatih agar bisa memberikan pendidikan kepada mereka.
“Kami mendapatkan dana untuk
membangun sekolah TK dan SD di Kampung Kokoda pada 2010, namanya TK Lab School
dan SD Lab School," ujar dia.
Saat berupaya membangun
sekolah, Rustamadji kembali diuji. Prosesi pembangunan TK dan SD berhenti
beberapa waktu karena kehabisan dana.
Besi-besi fondasi bangunan
justru dijarah orang-orang Kokoda. Mereka tidak paham akan pentingnya
keberadaan bangunan sekolah di kampung itu. Besi-besi itu bahkan dijual untuk
membeli rokok.
Peristiwa itu tidak membuat
tekad Rustamadji surut. Semangatnya justru terbakar untuk makin serius
membangun Suku Kokoda. Dia menilai, mereka adalah masyarakat yang ekstrem.
Dibutuhkan upaya ekstra, ekstrem, dan serius untuk membantu serta membangun
karakter mereka agar menjadi lebih maju.
Rustamadji menceritakan,
saat TK Lab School dan SD Lab School berdiri, anak-anak Kokoda tidak langsung
terbiasa dengan kegiatan belajar dan mengajar di dalam kelas. Saat mahasiswa
STKIP Muhammadiyah datang, tidak semua siswa mau ke sekolah. Tugas mahasiswa
menjadi ekstra karena harus menjemput murid-muridnya di rumah masing-masing.
Mereka harus sabar membujuk anak didiknya agar mau belajar di dalam kelas.
"Alhamdulillah,
sekarang anak-anak Suku Kokoda sudah banyak yang melanjutkan sekolah, belajar
di SMA dan perguruan tinggi. Kesadaran mereka terhadap pendidikan semakin
meningkat," kata Rustamadji.
Pada 2018 STKIP Muhammadiyah
Sorong menjadi Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong. Rustamadji
didaulat menjadi rektor. Perubahan status ini tidak menghentikan upaya
pembinaan kepada Suku Kokoda. Bersama Unimuda, Rustamadji bahkan menambah
harapan baru agar warga Kokoda bisa mendapat mata pencaharian yang layak.
Namun, ujian yang dihadapi
Rustamadji tidak berhenti. Dia menceritakan, suatu ketika, masyarakat Kokoda
dilatih beternak. Mereka diberi beberapa ekor sapi untuk dikembangbiakan. Tapi,
sapi yang dipelihara mereka mati dan tidak tumbuh sehat.
"Saya bertanya kenapa
sapinya bisa sampai mati? Mereka, orang Kokoda, menjawab, tidak tahu ternyata
sapi harus diberi minum agar tetap hidup," ujarnya menirukan logat orang
Kokoda. Ada juga peternak lain yang mengikat sapi dengan tambang sampai kaki
sapi terluka dan sakit.
Ketimpangan itu membuat
Rustamadji dan STKIP Muhammadiyah kembali berjuang untuk bisa memberikan tanah
dan tempat tinggal yang layak bagi Suku Kokoda. Setelah mencari ke sana kemari,
upaya Rustamadji menampakkan hasil. Majelis Pemberdayaan Masyarakat
Muhammadiyah memberi bantuan untuk membeli tanah. Kini, mereka tinggal di atas
lahan seluas dua hektare.
Perjuangan selanjutnya
berhasil mendapat bantuan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR). Sebanyak 57 rumah permanen telah berdiri untuk masyarakat Kokoda.
Mereka bisa hidup menetap di rumah permanen yang layak.
Suku Kokoda juga telah
mendapatkan dana desa. Mereka sedang berusaha membuat bagan atau alat penangkap
ikan di laut. Masyarakat pun bisa panen ikan setiap hari untuk memenuhi
kebutuhan mereka.
Kiprah Rustamadji membangun
karakter masyarakat Kokoda membuahkan hasil. Perlahan, citra negatif Suku
Kokoda pudar. Mereka makin optimistis menata dan menatap masa depan setelah
mendapat sentuhan Muhammadiyah.
Menurut Rustamadji,
tantangan Suku Kokoda ke depan adalah membangun karakter. Ia pun mengajak
lembaga swasta, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan perguruan tinggi untuk
memiliki keberpihakan yang nyata.
“Mereka yang kurang rajin
menjadi rajin, yang tidak semangat menjadi lebih semangat, dan budaya konsumtif
mereka menjadi budaya produktif,” ujar dia. (ed: a syalaby ichsan).
Tulisan ini sebelumnya telah
dimuat di halaman Republika pada Senin (22/4)
Sumber: muhammadiyah.or.id
Sumber: muhammadiyah.or.id

