@ekosangpencerah
"Djadi seolah-olah dasarnja
pertolongan daripada Moehammadijah b/g PKO itoe soeatoe soember (mata air)
pertolongan jang djernih lagi bersih, terletak di seboeah tempat jang bisa
didatangi oleh segala orang tidak memandang bangsa dan Agama.” (Penggalan dari
asas Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang didirikan pada 1923)
Said Tuhuleley, seorang
kader Muhammadiyah yang lama berkecimpung di bidang pemberdayaan masyarakat
menguraikan pandangannya tentang pasang surut fokus Muhammadiyah dalam
menyantuni kaum miskin. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Kyai Dahlan ingin
agar ajaran Islam yang terkandung dalam Surat Al Maun benar-benar diamalkan
secara nyata oleh para muridnya.
“1. Tahukah kamu (orang)
yang mendustakan agama? 2. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan
tidak mendorong memberi makan orang miskin.”
Saat seorang murid
mengungkapkan kenapa pelajaran tentang surat Al Maun diulang-ulang padahal
mereka sudah paham, Kyai Dahlan melontarkan satu pertanyaan yang menghentak kesadaran.
“Sudahkah kalian amalkan?” Kemudian ajaran Al Maun pun diwujudkan dalam amal
nyata secara bersama-sama.
Sejak awal berdiri,
Muhammadiyah dekat dengan kaum miskin, anak yatim dan golongan kurang beruntung
lainnya. Lahirnya Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada 1923 semakin
menegaskan kiprah Muhammadiyah dalam membantu kaum miskin. PKO berawal dari
inisiatif HM. Sudjak untuk menyediakan klinik kesehatan bagi para dhuafa. Maka
pada 15 Februari 1923 dibuatlah klinik di Jagang Notoprajan. Kemudian terus
berkembang dan dipindahkan ke Jalan
Ngabean No.12 B Yogyakarta (sekarang Jalan K.H. Ahmad Dahlan).
Namun menurut Said
Tuhuleley, terjadi pergeseran fokus dalam gerakan Muhammadiyah, apalagi setelah
PKO diterjemahkan ulang menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat) pada era
1980-an. Perubahan ini seolah ikut mengikis ruh kepedulian kepada kaum miskin.
Sehingga gerak langkah Muhammadiyah seolah meninggalkan akarnya sebagai
pemberdaya kaum miskin, berbelok arah menjadi pengelola amal usaha sebagai industri
jasa yang lebih mengejar profit.
Untunglah pada Muktamar ke
44 di Jakarta, tumbuh kesadaran untuk mengembalikan Muhammadiyah ke jati diri
gerakan sebagaimana dirintis Kyai Dahlan. Dengan dimotori Dr. Moeslim
Abdurrahman dan kawan-kawan, Muhammadiyah memberikan perhatian khusus kepada
buruh, tani dan nelayan. Gerakan ini hingga kini terus digulirkan melalui
Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM).
Baca Juga : HAMKA, Sosok yang Mengajarkan Kesederhanaan
Menilik sejarah tersebut,
sudah sepatutnya pimpinan, kader dan warga persyarikatan Muhammadiyah untuk
melihat kembali apakah dalam program, langkah dan gerakan yang dijalankan saat
ini selaras dengan cita-cita luhur Kyai Dahlan: Membantu kaum miskin!
Kita bisa belajar dari kisah
Drijowongso, sekretaris Bagian PKO Muhammadiyah yang mendampingi Kyai Suja’.
Sebelum aktif di Muhammadiyah, Drijowongso yang berasal dari Sidoarjo ini
dikenal sebagai buruh tebu. Pergaulan dan lingkungan membuatnya lebih cenderung
berpikiran sekuler. Merasa tertindas oleh kekuasaan kolonial ia terlibat dalam
aksi protes, dan kemudian ditangkap Belanda. Drijowongso harus mendekam di
penjara selama satu setengah tahun di Magelang.
Ia mendengar kiprah
Muhammadiyah. Ia pun mengirimkan surat kepada Muhammadiyah agar bersedia
merawat anak dan istrinya. Muhammadiyah menyambut permintaan itu, melalui Siti
Moendjijah, adik kandung Haji Fachrodin, istri dan anak Drijowongso diajak ke
Yogyakarta. Selepas dari penjara, Drijowongso langsung menuju ke Yogyakarta dan
ia pun kaget saat menemui istri dan anaknya. Sebab keduanya berpenampilan rapi
dan terdidik. Muhammadiyah telah menunaikan permohonannya dengan baik.
Begitulah, dan kita ingin
agar Muhammadiyah tetap dekat dengan kaum miskin. Menjadikan pemberdayaan
masyarakat sebagai ruh dalam setiap aspek amal usaha yang dilakukan. Terus
merawat nilai-nilai kemanusiaan tanpa mengabaikan ajaran Islam. Semoga
Muhammadiyah mampu menjadi matahari untuk kaum miskin. [e]

