Waspadai Kebohongan Buku ”The Untold Story K.H.R.Ng. Ahmad Dahlan “

Beredarnya buku yang mengisahkan sisi lain KH. Ahmad Dahlan menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, karena tidak sedikit buku tersebut dimanfaatkan oleh kelompok yang mengail di air keruh untuk menyerang pemahaman warga Muhammadiyah selama ini.



Buku yang berjudul The Untold Story K.H.R.Ng. Ahmad Dahlan; Pembaharu, Pemersatu, dan
Pemelihara Tradisi Islam, mengklaim merupakan kisah yang tidak pernah diekspos
selama ini dan merupakan buku hasil wawancara dengan Keluarga Besar KH. Ahmad
Dahlan. Muncul pertanyaan benarkah isi buku ini sesuai dengan judulnya yang
cukup bombastis? dan benarkah buku ini hasil wawancara langsung dengan Keluarga
Besar KH. Ahmad Dahlan?

Kami meminta klarifikasi kepada Keluarga Besar KH. Ahmad Dahlan seputar penerbitan buku ini dan berikut petikan klarifikasi Ibu Diah Purnamasari  mewakili Keluarga Besar KH. Ahmad Dahlan:
“Penulisnya udah saya katakan sebagai pembohong, di depan ratusan undangan ketika bedah buku tersebut., dan Penerbit sudah kami gugat untuk mengembalikan CD hasil bajakan asset Yayasan KHA Dahlan yang dijadikan bonus buku ini."

“Penulis sudah melakukan penipuan dengan mengatakan sudah melakukan wawancara ke keluarga KH. Ahmad Dahlan  padahal faktanya pihak Penulis sama sekali tidak pernah melakukan proses wawancara kepada pihak Keluarga Besar KH. Ahmad Dahlan sehingga pernyataan penulis adalah bohong besar.”

“Dalam buku tersebut juga keliru menulis nama keluarga KH. Ahmad Dahlan sebgai narasumber dan salah satu keluarga besar kami yang Bapak Iftironi juga menyangkal telah memberi ijin kepada penulis untuk menyebutkan keluarga sebagai narasumber.“

“Satu kebohongan lagi Penulis masih berani mengatakan  kalau proses penulisan buku ini sudah atas ijin Ketua Yayasan KH. Ahmad Dahlan, dan sudah dikonfirmasi Ketua Yayasan tidak tahu
menahu.”

Di akhir klarifikasinya Keluarga Besar KH. Ahmad Dahlan menyampaikan buku ini tidak bisa dijadikan rujukan tentang sejarah KH. Ahmad Dahlan. Selanjutnya kami sajikan tulisan Niki Alma Febriana Fauzi yang membedah buku  ini baik dari sisi metode penulisan dan substansi buku tersebut, berikut tulisannya :

Menulis dengan Bijak dan Bertanggung Jawab; Beberapa
Catatan untuk Buku “The Untold Story K.H.R.Ng. Ahmad Dahlan; Pembaharu,
Pemersatu, dan Pemelihara Tradisi Islam” karya Ahmad Sarwono bin Zahir &
Shofrotum binti Husein al-Aydrus

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya Sabtu 19 Oktober 2013, di aula kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Cikditiro, Yogyakarta) diadakan bedah buku berjudul “The Untold Story K.H.R.Ng. Ahmad Dahlan; Pembaharu, Pemersatu, dan Pemelihara Tradisi Islam” (selanjutanya ditulis The Untold Story). Acara yang diprakarsai oleh Pimpinan Cabang IMM AR Fakhruddin Yogyakarta ini mendapat perhatian yang cukup intens dari banyak kalangan, baik warga Muhammadiyah maupun non-warga Muhammadiyah. Selain karena judulnya yang bombastis, isi dari buku itu pun konon mengandung substansi-substansi yang sarat akan kontroversi.
Karenanya, dalam hal ini penulis – yang menjadi salah satu peserta dalam bedah buku itu – merasa perlu untuk memberi beberapa catatan bagi buku The Untold Story, mengingat isi dari buku tersebut sedikit banyak telah menumbuhkan benih-benih kebimbangan dan ‘kegelisahan’ di tengah sebagian masyarakat.

Buku The Untold Story ditulis oleh sepasang suami-istri, bernama Ahmad Sarwono bin Zahir dan Shofrotum binti Husein al-Aydrus, diterbitkan oleh penerbit Mitra Pustaka Nurani (MATAN) dengan cetakan pertama pada bulan Juli 2013. Buku ini bisa dikatakan menjadi salah satu buku yang mampu mencuri perhatian pasar dalam beberapa waktu terakhir. Judulnya yang dibuat bombastis-fenomenal oleh pengarangnya, membuat siapa saja yang melihat ingin merogoh kocek untuk membeli dan kemudian membaca serta mengkaji isinya.
Terlebih bagi warga Muhammadiyah dan orang-orang yang memang mengidolakan sosok Ahmad Dahlan. Pemilihan kata “The Untold Story (cerita yang tak terungkap)” oleh pengarang sebagai judul bukunya, memberikan ekspektasi kepada masyarakat akan suatu hal baru yang selama ini belum atau tidak pernah terungkap dari sejarah Ahmad Dahlan. Akan tetapi, barangkali bagi orang yang telah mengkhatamkan buku tersebut janji yang dilontarkan buku yang ditulis oleh
sepasang suami-istri itu tak kunjung datang. Idealnya buku yang diberi judul demikian, dengan nama seorang tokoh (Ahmad Dahlan) sebagai grand title-nya, sosok tokoh itulah yang seharusnya mendapat porsi banyak dalam pembahasan buku.
Dalam buku ini sosok pribadi Ahmad Dahlan justru tidak terlalu banyak dikupas. Dari 12 bab yang ada, hanya kurang lebih 4 bab yang membahas sosok Ahmad Dahlan secara agak fokus. Bab-bab yang lain justru lebih banyak membahas tentang sebagian sisi Majelis Tarjih dan hal-hal yang (menurut penulis) kurang relevan dengan judul buku tersebut. 

Penulis mencatat ada beberapa poin yang harus dikritisi dan digaris bawahi dari buku The Untold Story, baik dari segi teknis, referensi maupun substansi. Dari segi teknis, ada beberapa penulisan dalam buku tersebut yang tidak konsisten. Beberapa penulisan malah terkadang membuat bingung, karena di satu tempat ditulis demikian, tapi dalam tempat lain ditulis berbeda. Satu contoh misalnya ketika pengarang menulis nama Mufti Batavia tahun 1862. 

Dalam bab 4 (h. 73) ia menyebut mufti tersebut dengan nama Habib Utsman bin Abdullah bin
Yahya, tetapi dalam bab 5 (h. 89) ia menyebutnya dengan nama Sayyid Utsman bin
Abdullah bin Agil. Hal serupa juga dapat dijumpai ketika ia menyebut pendiri organisasi Islam, Jamiat Kheir.  Di satu tempat ia menyebutnya dengan nama Sayyid Ali bin Ahmad Shahab, tapi di tempat lain ia menyebutnya Sayyid Muhammad bin Abdurrahman Shahab. 

Adapun dari segi referensi, buku The Untold Story selain menggunakan
sumber-sumber kepustakaan juga menggunakan sumber lapangan (wawancara) sebagai
sumber rujukan. Buku The Untold Story dengan tebal sekitar 400-an halaman
lebih, secara kuantitas hanya menggunakan 7 halaman dari buku itu untuk
menuliskan daftar pustaka. Itupun sudah termasuk dengan sumber kepustakaan lain
(termasuk sumber internet) selain buku. Jika melihat kuantitas halaman buku
yang sedemikian tebal, kuantitas referensi yang digunakan terlihat sangat
timpang, terlebih jika dibandingkan dengan buku-buku (ilmiah) lain yang
tebalnya mencapai 400-an halaman. Secara kualitas, referensi yang digunakan pengarang
juga patut untuk mendapat perhatian. Tulisan-tulisan yang membahas tentang
Ahmad Dahlan, baik dalam bentuk buku maupun penelitian yang lain telah banyak
dilakukan selama ini. Sebagai tulisan yang muncul belakangan, buku The Untold
Story sudah sepatutnya merujuk kepada referensi-referensi otoritatif sebelumnya
yang membahas sosok Ahmad Dahlan. Sebut saja di kalangan Muhammadiyah, buku dan
tulisan-tulisan Munir Mulkhan tentang Ahmad Dahlan secara khusus, dan
Muhammadiyah secara umum, hampir selalu menjadi rujukan dalam setiap penelitian
atau tulisan-tulisan baru tentang Ahmad Dahlan yang muncul belakangan. Tetapi
dalam buku The Untold Story hanya satu tulisan dari sejarawan Muhammadiyah itu
yang dijadikan referensi. Buku yang dirujuk itu pun adalah buku yang secara
khusus tidak membahas sosok Ahmad Dahlan. Mengenai sumber lapangan (wawancara)
yang dilakukan pengarang kepada perwakilan pihak keluarga Ahmad Dahlan juga
perlu dikritisi dalam hal ini. Seorang cicit Ahmad Dahlan dari istri yang
bernama Churriyyah dalam acara bedah buku tersebut turut berkomentar perihal
validitas hasil wawancara. Menurut cicit Ahmad Dahlan itu, pengarang telah
melakukan kesalahan dalam bukunya ketika menyebutkan nama ibunya, yaitu
Churriyyah. Dalam buku The Untold Story pengarang menuliskanya dengan
Chairiyyah. Menurutnya kesalahan yang dilakukan pengarang tersebut adalah salah
satu bukti diragukannya validitas hasil wawancara tersebut.
Poin penting lain secara kualitas dan ini menjadi kritik mendasar bagi buku
The Untold Story adalah validitas data yang disajikan dalam buku tersebut.
Pengarang buku ini dalam banyak kesempatan menyajikan data-data yang secara
ilmiah patut dipertanyakan validitasnya. Selain tidak merujuk kepada
sumber-sumber otoritatif, banyak data, kalimat, statement dan laporan-laporan
penelitian yang dikutip tanpa mencantumkan dari mana informasi itu diambil. Hal
ini tentu menjadikan para pembaca sulit untuk melacak kesahihan isi yang
disajikan oleh si pengarang, sehingga konsekuensinya buku tersebut juga patut
dipertanyakan sisi validitasnya. Selain itu, berdasarkan hal tersebut pula,
sudah barang tentu akan berimplikasi pada isi buku secara substantif. 
Dari sisi substansi, buku The Untold Story menawarkan isi yang jika dibaca
dapat mengundang kontroversi bagi banyak kalangan. Paling tidak secara garis
besar ada dua poin mendasar yang berpotensi mengundang kontroversi; pertama
yang berkaitan dengan Majelis Tarjih & Muhammadiyah, dan kedua yang
berkaitan dengan hubungan Muhammadiyah-NU serta ormas-ormas Islam yang lain. 
Poin yang berkaitan dengan Majelis Tarjih & Muhammadiyah di antaranya
adalah tentang anggapan pengarang yang berkesimpulan bahwa dengan berdirinya
Majelis Tarjih dalam tubuh Muhammadiyah, telah membelokkan arah Muhammadiyah
itu sendiri ke jalur lain yang berbeda dengan jalur pendirinya, Ahmad Dahlan.
Ia menganggap bahwa Majelis Tarjih tidak mampu meneruskan tujuan awal Ahmad
Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah sebagai sarana dakwah dalam kehidupan
masyarakat. Ia menganggap bahwa Mejelis Tarjih tidak mampu melanggengkan fikih
Ahmad Dahlan, karena Majelis Tarjih telah mengubah paradigma Muhammadiyah
menjadi organisasi Islam yang anti budaya dan tradisi, terutama tradisi dan
budaya Jawa. Himpunan Putusan Tarjih (HPT) sebagai produk Majelis Tarjih juga
dianggap sebagai doktrin dan dogma yang membelenggu warga Muhammadiyah (h.
173). Ia menganggap bahwa Muhammadiyah dengan penyeragaman ibadah yang
dilakukan dalam HPT-nya itu, telah ‘mendidik’ warganya untuk bersikap eksklusif
dan tidak mengakui keberagaman dalam tata cara beribadah (al-tanawwu’ fi
al-‘ibadah) (h. 168). Lebih jauh lagi pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada Muhammadiyah adalah sebuah pertanyaan bernada meragukan; sudah memenuhi
syaratkah orang-orang di Majelis Tarjih untuk melakukan ijtihad? Sehingga
menurutnya, dari pada melakukan ijtihad dengan syarat-syarat yang belum tentu
terpenuhi oleh seseorang sebagai mujtahid ia lebih memilih dan mengajak untuk
bersikap taklid. 

Secara fikih, Muhammadiyah pasca-Ahmad Dahlan dengan Majelis
Tarjih-nya,  dalam beberapa hal memang berbeda dengan fikih sang pendiri. Tetapi justru itulah yang membuktikan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid (pembaharu), yang selalu membuka kesempatan kepada para mujtahid untuk melakukan ijtihad dan tidak bertaklid pada madzhab atau orang tertentu, meskipun itu adalah pendiri Muhammadiyah sekalipun.
Muhammadiyah juga tidak serta merta menolak tradisi dan budaya yang selama ini
(menurut pengarang buku itu) diakomodir dan diamalkan oleh Ahmad Dahlan. Buktinya
terdapat beberapa fatwa Majelis Tarjih yang mengisyaratkan tentang perlunya
Islam mengapresiasi kesenian yang selama ini telah membudaya di masyarakat.
Tentunya budaya-budaya yang tidak ‘mengotori’ aspek akidah dan ibadah umat
Islam. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) disusun sebenarnya bukan
untuk menjadikan umat Islam (warga Muhammadiyah) bersikap eksklusif dan anti
pluralitas dalam kaifiat ibadah. HPT disusun adalah sebagai salah satu
alternatif bagi masyarakat untuk memilih ibadah yang menurut Muhammadiyah
dipandang lebih kuat secara dalil atau argumen. Kalaupun ada masyarakat yang
ibadahnya berbeda dengan tuntunan HPT itu juga sah-sah saja, selama mereka
beribadah berdasarkan dalil yang sah. 

Anggapan tak berdasar lain yang dilontarkan pengarang dalam bukunya adalah
tentang Muhammadiyah pasca-Ahmad Dahlan yang telah berevolusi menjadi gerakan
Wahabi. Ia menyatakan bahwa berdirinya Majelis Tarjih telah membawa perubahan
pada citra Muhammadiyah yang dulu ia menyebutnya sebagai gerakan yang ‘njawani
tetapi islami’, menjadi Muhammadiyah seperti sekarang sebagai gerakan
pembaharuan ke-arab-arab-an ala Ibnu Taimiyyah dan Wahabiyyah yang anti tradisi
(h. 168). Anggapan seperti itu jelas merupakan anggapan yang berangkat dari
ketidakmampuan pengarang buku The Untold Story untuk menyelami dan memahami
Majelis Tarjih secara komprehensif. Dalam buku Muhammadiyah dan Wahhabisme;
Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru, pelabelan (stereotyping) seperti itu
dikatakan oleh salah seorang penulisnya sebagai anggapan yang tidak berdasar
dan menimbulkan kebingungan karena keluar dari orang yang bingung (h. 5).
Akibatnya dari anggapan-anggapan miring terhadap Majelis Tarjih yang dilakukan
pengarang, mau tidak mau ada orang yang harus bertanggung jawab atas itu semua.
Orang yang dikambinghitamkan pengarang sebagai pemicu pergeseran paradigma
Muhammadiyah itu adalah KH. Mas Mansur, sebagai orang yang mempelopori
berdirinya Majelis Tarjih. Bahkan dalam beberapa paragraf dalam bukunya, ada
kalimat-kalimat pengarang yang cukup tendensius ditujukan kepada KH. Mas
Mansur.

Poin mendasar yang kedua adalah yang berkaitan dengan hubungan antara
Muhammadiyah dan NU serta ormas-ormas yang lain. Dalam buku The Untold Story,
pengarang ingin mengesankan kepada para pembaca bahwa Muhammadiyah dan NU yang
sekarang adalah ibarat dua binatang; kucing dan anjing yang selalu ‘bertikai’
karena beberapa perbedaan pemahaman fikih antara keduanya. Mereka, menurut
pengarang, telah terjebak ke dalam jurang perselisihan furu’iyyah yang
bertele-tele, tidak penting dan tidak akan pernah berkesudahan. Anggapan
seperti ini menurut penulis kurang tepat, karena selain perbedaan furu’iyyah
itu sudah menjadi permakluman bersama, juga karena sudah banyak dari warga
kedua organisasi itu yang sudah bisa saling memahami dan menghargai  dengan adanya perbedaan. Meskipun ada sebagian kecil warga dari kedua organisasi tersebut yang belum bisa saling menghargai dan memahami adanya perbedaan, tapi itu tidak dapat dijadikan dasar
generalisasi yang menyatakan bahwa Muhammadiyah dan NU yang sekarang tidak akur
dan karenanya berbahaya bagi masa depan umat Islam secara umum. 
Kesan yang ingin disampaikan tersebut nampaknya ingin (maaf, penulis harus
mengatakan) ‘dimanfaatkan’ pengarang buku The Untold Story untuk ‘mempromosikan’
dan mencitrakan baik Jamaah Tabligh – di mana pengarang menjadikannya jalur
dakwah –  sebagai organisasi inklusif,
tidak sibuk pada masalah khilafiah dan organisasi yang mengajak pengikutnya
mendahulukan akhlak di atas fikih. Itu dapat dengan jelas dirasakan ketika
beberapa halaman pada pertengahan buku The Untold Story (h. 258-271)
diperhatikan dengan seksama oleh para pembaca. 

Hal lain yang sebenarnya juga menarik untuk dikritisi dan mendapat
perhatian adalah seringnya pengarang pada banyak kesempatan dalam bukunya
menyinggung-nyinggung dan terkesan (kalau boleh dikatakan) ‘mengagungkan’ ahlul
bait. Terlebih ketika ia mengutip hadis yang menyatakan bahwa dua perkara yang
dapat menjaga manusia dari ketersesatan jika mereka mau berpegang teguh pada
keduanya adalah kitabullah (al-Qur’an) dan ‘itrati (keluargaku/ahlul bait).
Pertanyaan yang patut diajukan adalah apa tujuan sesungguhnya pengarang buku
tersebut melakukan itu?

Sekadar tambahan informasi, pada acara bedah buku yang diprakarsai Pimpinan
Cabang IMM AR Fakhruddin Yogyakarta itu, turut hadir pula saudara Riswinarno
Akmal Irfan, salah seorang keluarga Ahmad Dahlan yang dimintai pengarang untuk
memberikan kata pengantar pada bukunya. Pada kesempatan itu Riswinarno
membagikan secarik kertas kepada para peserta dengan disertai tanda tangannya
untuk memperkuat isi dari kertas tersebut. Inti dari secarik kertas itu adalah
pernyataan tentang klarifikasi saudara Riswarno kepada pengarang buku The
Untold Story atas apa yang telah dilakukanya secara kurang bijak dan
bertanggung jawab. Dalam secarik kertas itu, Riswinarno memberikan pernyataan
bahwa kata pengantar itu sesungguhnya diberikan untuk 4 bab dari buku The
Untold Story yang sebelumnya telah dikirimkan kepadanya melalui email. Akan
tetapi dalam buku tersebut kata pengantar itu dijadikan sebagai kata pengantar
untuk keseluruhan buku, yang berjumlah 12 bab. Artinya ada 8 bab yang tidak
dikirimkan kepada Riswinarno, sehingga ia tidak dapat membaca dan memberikan
penilaian obyektif ketika akan memberikan kata pengantar.

Kata pengantar itu, seperti dinyatakan dalam secarik kertas tersebut,
dibuat Riswinarno tanpa disertai nama identitas. Tetapi ketika buku tersebut
terbit, identitas yang muncul sebagai pemberi kata pengantar adalah nama
dirinya, anak dan istrinya. Lebih parah lagi, menurutnya, penyertaan identitas
sebagai ahli sejarah dari keturunan K.H.R.Ng. Ahmad Dahlan adalah sumber fitnah
yang sangat menyerang dirinya dan keluarga besarnya. Hal tersebut dikarenakan
isi dari buku The Untold Story yang sarat akan kontroversi. Selain tiga
pernyataan tersebut, masih ada beberapa pernyataan dalam secarik kertas itu
yang tidak perlu penulis sampaikan.

Bagaimanapun sebuah karya pasti memiliki nilai negatif dan positif,
termasuk juga buku The Untold Story. Secara umum nilai positif dari buku ini
misalnya adalah perspektif baru yang ditampilkan tentang sejarah Islam
Nusantara. Sejarah Islam nusantara yang jamak dipahami masyarakat disebarkan
oleh para gujarat melalui jalur perdagangan, akan tetapi pengarang menampilkan
perpektif baru bahwa sejarah Islam di nusantara telah dimulai sejak zaman Nabi
Ibrahim dengan adanya bukti prasasti Mulawarman. 

Tulisan ini tidak bermaksud menjelek-jelekkan buku The Untold Story karya
Ahmad Sarwono bin Zahir dan istri. Meskipun tulisan ini terkesan apologis,
karena ditulis oleh seorang warga Muhammadiyah, tapi penulis berusaha untuk
tetap mempertahankan obyektifitas dalam menilai dan mengkritisi buku ini. Untuk
lebih ‘memuaskan diri’ dan agar tidak terpengaruh dengan catatan penulis yang
(barangkali) terkesan apologis, para pembaca yang budiman dapat membaca,
mengkaji dan kemudian menilai sendiri buku The Untold Story. Tapi satu hal
penting dari terbit dan beredarnya buku ini adalah pelajaran bagi kita untuk
bersikap bijak dan bertanggung jawab ketika akan menuangkan ide atau gagasan
dalam sebuah tulisan.  Wallahu A’lam bi
Al-Shawab.


Judul buku        : 
The Untold Story K.H.R.Ng. Ahmad Dahlan; Pembaharu, Pemersatu, dan Pemelihara
Tradisi Islam
Penulis             : Ahmad Sarwono bin Zahir & Shofrotum binti Husein al-Aydrus
Penerbit           : Mitra Pustaka Nurani (MATAN)
Cetakan           : Pertama, Juli 2013
Tebal                : xxx + 426
 

*) Penulis adalah Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta dan Mahasiswa Tafsir-Hadits Universitas Ahmad Dahlan


Sumber: sangpencerah.id

Klik untuk Komentar