Oleh : Budi
Nurastowo Bintriman
Banyak pakar
pendidikan dalam negeri yang memuji-muji pendidikan luar negeri. Bisa jadi
perihal itu obyektif. Bisa jadi perihal itu subyektif karena mental inlander
inferiority complex. Bisa jadi juga kedua-duanya. Yang mereka puja-puji
pendidikan di Jepang, Finlandia, dan Amerika. Apakah pendidikan dalam negeri
tak ada yang pantas mendapat pujian?
| Hidden Curriculum Pesantren dan Korupsi |
Pebdidikan Indonesia
sebenarnya tak kalah hebat, dan tak kalah canggih. Kurikulum 13 sudah sangat
hebat dan canggih. Tapi ada masalah daya dukung sosial dan daya dukung
finansial, hingga membuatnya tak jadi hebat, dan tak jadi canggih. Akhirnya
guru menjadi single fighter di tengah hutan belantara pendidikan.
Akibatnya guru yang
bergaji tak layak tapi diberi beban tanggungjawab sepenuhnya untuk
mencerdaskan, mencerahkan, dan memajukan siswa. Sementara lingkungan siswa di
rumah tangga, teman pergaulan, dan lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa
sama sekali tak mendukung kurikulum yang hebat dan canggih itu.
Meski begitu masih
banyak hidden curriculum para kyai dari pondok pesantren yang bisa diungkap
untuk (harapan) pencerdasan, pencerahan, dan pemajuan siswa atau pendidikan di
dalam negeri. Ini tentu bagaikan oase di tengah padang pasir. Kita asumsikan,
bahwa hidden curriculum adalah bagian dari kurikulum itu sendiri.
Pertama, ada kyai
yang menggratiskan pondok pesantrennya. Padahal pondok pesantrennya telah
nyata-nyata banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh besar bangsa. Santri hanya
membayar biaya kebutuhan hidupnya sendiri. Para guru dan ustadznya digaji dari
usaha bisnis milik pondok pesantren. Sistemnya dibikin sederhana saja : yang
tidak taat pada aturan pondok pesantren, silahkan angkat kaki...!!!
Suasana pondok
pesantren jadi sangat kondusif (baca : berkah). Guru atau ustadz jadi sangat
berwibawa. Siswa atau santri jadi sangat taat kepada para pendidiknya. Bahkan
para santri taat kepada senior mereka. Karena senior dianggap sebagai
perpanjangan tangan guru atau ustadz mereka.
Ke dua, ada kyai
pondok pesantren yang melonggarkan aturan. Konsekuensinya, disamping adanya
pembinaan khusus, para guru dan ustadz wajib mendoakan kepada para santri yang
nakal, sama dengan mendoakan anak-anaknya sendiri. Baik dalam kuantitasnya
ataupun kualitasnya. Doa yang wajib mereka panjatkan pada waktu-waktu maqbul,
seperti waktu selepas shalat fardhu. Luar biasa bukan?
Ke tiga, ada kyai
yang selalu mengajak satu atau dua santrinya untuk ikut ngisi ceramah,
pengajian, dan lain-lain. Tujuannya agar para santri bisa mengikuti jejak
kyainya dalam syiar, taklim, tabligh, dan dakwah. Santri jadi tahu dan faham
tugas muslim (khawas) di tengah-tengah umat (awam). Santri jadi tahu dan faham
situasi dan kondisi kongkret kehidupan nyata di luar pondok pesantren.
Saat pulang, kyai mengajak
santrinya mampir ke warung bakmi atau pecel lele. Saat itu digunakan oleh kyai
untuk bincang-bincang yang egaliter, sebagaimana juga dalam perjalanan
berangkat atau pulangnya. Dan terakhir, tiba kembali di pondok pesantren, kyai
memberi uang sekedarnya kepada santri.
Ke empat, kyai
menerapkan program "mubaligj hijrah" tiap bulan Ramadhan. Para santri
tingkat atas dan yang kompeten dilepas di tengah-tengah umat. Di situ mereka
diprogramkan jadi motor penggerak sekaligus pengisi kegiatan bulan Ramadhan.
Kegiatan yang biasanya sangat padat : - kuliah subuh - kajian Ahad pagi -
ceramah jelang buka puasa - imam dan ceramah tarawih. Di program ini, para
santri akan banyak mendapatkan "ilmu-ilmu" tambahan.
Ke lima, para kyai
di pondok pesantren menerapkan program pengabdian. Setelah kurang lebih enam
tahun digembleng, para santri wajib mengamalkan ilmunya selama satu tahun.
Lahan mereka mengabdi bisa di pondok pesantren sendiri, dan juga bisa di
pondok-pondok pesantren yang mengajukan permohonan.
Ke enam, ada kyai
yang menerapkan kemandirian penuh. Para santri memenuhi kebutuhan makan dan
minum dengan masak sendiri. Tiap harinya ada kelompok piket memasak. Kelompok
piket ini bertanggungjawab penuh menyediakan makan minum santri lainnya yang
jumlahnya ratusan. Mereka menjadi terbiasa hidup dengan timeline yang sarat
nilai kebersamaan, gotong-royong, pengabdian, kedisiplinan, kesabaran, dan
lain-lain.
Di Indonesia banyak
pondok pesantren. Dan telah banyak alumni-alumninya menjadi tokoh nasional.
Tapi juga tidak sedikit, dari mereka yang tak mampu memberi keteladanan kepada
bangsa, misal tindak korupsi. Jika kita menengok hidden curricullum di pondok
pesantren yang sedemikian mulianya itu, maka timbul pertanyaan besar di mana
pokok masalahnya?
Jika beberapa alumni
pondok pesantren saja bisa culas dan curang seperti itu, lantas bagaimana
dengan alumni-alumni lembaga-lembaga pendidikan yang tak punya hidden
curriculum seperti di pondok pesantren? Maaf, mengerikan sekali ya...?
Wa-ALLAHU a'lam
bishshawwab... [ ]
*)
Penulis adalah pengasuh Ponpes di Bantul
Tulisan
ini merupakan Opini Pribadi

