Jakarta –
Menjelang penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang rencananya
akan diputuskan oleh Presiden Joko Widodo pada 24 September mendatang, para
pakar hukum, aktivis lingkungan, serikat adat, tani, hingga lembaga masyarakat
mendesak agar RUU tersebut dibatalkan karena alih-alih memenuhi rasa keadilan
masyarakat kecil, draft RUU tersebut justru malah menyiratkan perlindungan pada
pemilik modal besar semata.
“Menurut kami rilis draft terakhir sangat
mengkhawatirkan. RUU ini keluar dari jiwa Pancasila dan sangat nyata buruk jika
dijalankan ke depan karena memberikan karpet yang lebih luas bagi kapital besar
untuk pemilikan tanah dengan jumlah yang sangat besar. Bahkan di RUU ini diatur
pemutihan pelanggaran. Kami masyarakat sipil, guru besar, pakar meminta Ketua
Panja, DPR, Presiden membatalkan ini,” ungkap Sekretaris Jenderal Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Sartika.
Dalam konferensi pers RUU Pertanahan yang digagas Majelis
Hukum dan HAM PP Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta
bersama KPA, Selasa (3/9) elemen masyarakat sipil dari latar belakang aktivis
lingkungan WALHI, Serikat Tani Pasundan, Aliansi Masyarakat Adat, hingga Pusat
Studi Agraria IPB sepakat menilai RUU Pertanahan terlampau liberal dan tidak
berpihak ke masyarakat kecil.
Penasehat Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Muchtar
Luthfi menyatakan draft RUU Pertanahan bernuansa kolonial, tidak demokratis dan
jauh lebih buruk dari UU Nomor 5 Tahun 1960.
"Presiden nantinya dapat mengurus peraturan tanah
melalui Perpres, nuansanya kolonial sekali seperti jabatan Gubernur Jenderal
Van der Capellen. Melalui domein verklaring status setiap tanah dan bangunan
yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya menjadi milik negara,” sesal Muchtar.
Menyambung Muchtar, Dewi Kartika kembali menegaskan RUU
Pertanahan sudah bermasalah sejak dalam prosesnya yang tertutup dan tidak
adanya konsultasi publik yang memadai dan akomodatif. Selain terkesan
pengerjaannya yang kejar tayang, menurut Dewi upaya keadilan sosial dalam Draft
RUU sama sekali tidak tercipta bahkan hak bagi masyarakat adat, petani yang
mengalami konflik dengan pemilik usaha besar juga tidak tercakup. (afandi)
Sumber:
muhammadiyah.or.id