‘Aisyiyah Berantas Buta Huruf, Kunci Kemajuan Kaum Perempuan

Yogyakarta — Menurut Siti Badilah Zoeber dalam pembukaan Sidang Mejelis ‘Aisyiyah pada Kongres Muhammadiyah ke 28 yang bertempat di Medan pada 21-22 Juli 1939 mengutarakan bahwa, sebagai cara pemuliaan kaum perempuan, ‘Aisyiyah mengusulkan untuk membuat program pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan.
‘Aisyiyah memang suatu pergerakan yang sengaja mengajak umat Islam pada umumnya, terutama kaum muslimat khsusunya. Sehingga ‘Aisyiyah tidak boleh merasa segan dan sungkan untuk menjalankan segala program dan tugasnya untuk mengajak kaum perempuan kepada kemajuan.

Sebagai langkah konkrit yang diajukan dalam pembicaraan di sidang tersebut adalah melalui pemberantasan buta huruf. Menurut Badilah Zoeber, maju dan mundur, serta tinggi dan rendahnya bangsa disebabkan karena masih melimpahnya jumlah kaum perempuan yang buta huruf.
Menyongsong moderintas zaman, menurutnya akan lebih mudah digapai jika madrasatun ula (Ibu) sebagai pendidik pertama anak untuk mampu membaca dan menulis. Kampanye pemberantasan buta huruf dilakukan secara sederhana melalui implementasi dengan menjadikan Suara ‘Aisyiyah (SA) sebagai pegangan.
Baca Juga : Haedar Nashir Dorong Kemitraan Muhammadiyah dengan Turki
“Soedahlah mengoesahakan akan toentoenan batja toelis dengan memadjoekan lecture-lectuure sebagaimana ditjontokan awal moelanja menggoenting atau menoekik beberapa soerat chabar jang dianggap penting dan perloe bagi mereka.” Dikutip dari Dagblad Congres Moehammadi’jah ke 28.
Demi memajukan kaum perempuan dan membebaskan dari buta huruf, secara khusus SA diadakan kolom Taman Nasjiah. Sebagai antisipasi dini bagi kaum perempuan muda untuk lebih giat dalam membaca, hal ini dilakukan supaya budaya literasi di kaum perempuan Muhammadiyah melakukan penguatan tradisi literasi.
Setelah menguatkan pribadi, dalam sidang ini juga dibicarakan mengenai pentingnya urusan keluarga sebagai representasi kemuliaan keumatan. Disepakati bahwa, sempurnanya dan tertibnya urusan rumah tangga akan berdampak pada tinggi dan mulianya umat. Serta dari kocar-kacirnya rumah tangga  akan terbengkalai dan rusaklah umat.
Baca Juga : UMS Jadi Perguruan Tinggi Swasta Terbaik di Indonesia Tahun 2019 Versi 4ICU
Dalam sidang tersebut dianjurkan empat azas sebelum memperbaiki urusan umat. Kaum perempuan juga harus melakukan perbaikan terlebih dahulu urusan rumah tangga, langkah tersebut dituangkan dalam empat asas dalam memperbaiki urusan rumah tangga.
Pertama,terhadap urusan suami. Suami harus menjadi teman hidup, kawan berjuang, penghibur hati, senantiasa menurutkan langkah suami, sekiranya akan tergelincir. Menampil kemuka untuk mengejar haknya, selalu berbimbing tangan menujuh kearah keumataan dan kebahagiaan.
Kedua,terhadap anak. Supaya ada berketurunan yang utama dan berguna, haruslah ibu itu selain memperhiasai diri dengan perhiasan akhlak utama, haruslah mengerti benar arti dan maksud pendidikan dan mendidik anak. Singkatnya ibu harus menjadi pendidik, pengasuh, dan juru advice.
Ketiga, bagi seisi rumah tangga. Istri menjadi pembela yang pertama, pelindung yang dapat dipercaya. Haruslah kaum istri mengunakan dan menyediakan kekauatan lahri batin untuk kemaslahatan rumah tangga. Keempat, menjaga ketenangan rumah tangga. Kaum putri itulash nyawa rumah tangga, dari itu maka ketenangannya ditangan kaum putri.
Maka sesudah urusan rumah tangga, kaum perempuan menyusun kekuatan dan tenaga untuk berjuang ditengah masyarakat ramai. Jalan untuk mencapai itu harus berbekal hati teguh, jiwa terasuh, ilmu dan pengalaman, sopan-santun disuburkan, memperbanyak membaca yang semuanya itu dijalankan diatas ke-Islaman. (a’n)

Sumber: muhammadiyah.or.id

Klik untuk Komentar
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Gagas Fikih Agraria Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah selenggarakan Seminar Nasional Pembaruan dan Tata Kelola Agraria, Persepektif Islam dan Keindonesiaan pada Kamis (19/12) di Amphitarium Kampus Utama Universitas Ahmad Dahlan (UAD).   Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menjelaskan, seminar yang diselenggarakan kali ini adalah serangkaian untuk menyusun fikih agraria. Dalam kesempatan itu juga sebagai langkah mengumpulkan bahan atau naskah akademik untuk menyusun fikih agraria oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammaiyah.   “Penyusunan fikih agraria ini juga dalam rangkah Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-dua dalam periode 2015-2020. Yang rencananya akan dilaksanakan pada bulan April tahun 2020 bertempat di Gresik, Jawa Timur," katanya. Baca Juga : PCM Minggir Sleman Dinobatkan Sebagai PCM Inspiratif Nasional   Sebagai bidang atau instrumen dalam organisasi Muhammadiyah, yang bertugas melakukan pengkajian keagamaan. Sehingga majelis ini memiliki tuntutan untuk menyusun segala macam persoalan keagamaan yang dialami oleh masyarakat atau umat dari berbagai aspek kehidupan.    Diantara produk hukum atau putusan oleh Majelis Tarjih adalah fikih kebencanaan, fikih korupsi, fikih pengelolaan, fikih air, fikih informasi, fikih anak. Sementara dalam Munas yang akan datang Majelis Tarjih akan menyusun fikih agraria, dan fikih difabel. Disamping masalah atau persoalan lain yang akan dibahas. Juga persoalan kontemporer tentang pengakhiran hidup manusia, dan persoalan bunuh diri dengan bantuan medis.   “Ini menjadi persoalan trend dunia, dibeberapa negara sudah terbit undang-undang yang mengatur hal ini. Misalnya di Amerika Serikat ada undang-undang tentang mati yang bermartabat. Dalam Undang-undang tersebut, bunuh diri dipersepsi sebagai mati yang bermartabat," tambahnya. Baca Juga : UMY Beri Bantuan ke Sekolah di Daerah 3T   Kejadian serupa juga banyak dialami di negara-negara Eropa, terlebih penyakit yang diakibatkan rasa kesepian yang diidap oleh kelompok jompo. Modernitas zaman mendorong manusia-manusia seakan menjadi robot yang super sibuk, sehingga mereka enggan atau bahkan lupa untuk berbagai perasaan psikologis yang membahagiakan kelompok Manusia Lanjut Usia (Manula).   Sebagai persoalan yang seakan tidak ada ujungnya, agraria di Muhammadiyah juga urusan yang problematik. Terutama menyikapi melimpahnya tanah wakaf yang dimiliki oleh Muhammadiyah yang sedang mengahadapi berbagai persoalan. Tanah wakaf yang dimiliki oleh Muhammadiyah kebanyakan bermasalah dengan urusan sertifikat.   “Dahulu orang mewakafkan tanah yah begitu saja, sama-sama percaya, ada saksinya dan jarang memandang aspek atau kepastian hukum seperti sertifikiat. Sehingga sekarang menimbulkan problem, dimana ahli warisnya dengan berbagai urusan administrasi yang belum tuntas," tambahnya.   Secara umum, persoalan tanah merupakan suatu yang amat penting dalam setiap kehidupan setiap orang. Banyak diantaranya menimbulkan persoalan lingkungan, karena antara luas tanah yang diperuntukkan atas pembangunan dan pelesatarian tidak seimbang dan mungkin juga terganggu akibat perbuatan manusia, baik yang secara langsung maupun melalui kebijakan.    Fikih di Muhammadiyah bukan hanya mengurusi persoalan halal dan haram. Dalam Muhammadiyah nilai fikih ada tiga tingkatan, fikih yang membahas tentang al Qiyamul Asasiyah (nilai-nilai dasar fikih) didalamnya terdapat teologis, etis, dan yuridis. Sumber: muhammadiyah.or.id Ajak Siswa Cintai Alam, SDIT Muhammadiyah Mangggeng Rekreasi ke Kebun Durian Beranda